KAPITALISME:
SERING TERDENGAR, TAK BANYAK YANG PAHAM
Kapitalisme
adalah satu kata yang kerap muncul dalam berbagai ruang. Namun, ternyata–ini
menyedihkan–bagi banyak orang, kapitalisme sekadar kata yang memiliki bunyi.
Maknanya jauh masih di awang sana.
Kapitalisme
Dalam berbagai
paparan teoritis, kolonialisme, imperialisme, kapitalisme,
dan globalisasi merupakan fenomena-fenomena yang terkait. Imperialisme
berarti politik untuk menguasai (dengan paksaan) seluruh dunia untuk
kepentingan diri sendiri yang dibentuk sebagai imperium. Menguasai di sini
tidak berarti merebut dengan kekuasaan senjata, tetapi dapat dijalankan dengan
kekuatan ekonomi, kultur, agama, dan ideologi, asalkan dengan paksaan.
Dalam definisi
lain, imperialisme dikatakan sebagai upaya perluasan dengan paksaan wilayah
satu negara dengan melakukan penaklukan teritorial yang menjadi dasar
pembentukan dominasi politik dan ekonomi terhadap negara-negara lain yang bukan
merupakan koloninya (http://en.wikipedia.org/wiki/Imperialism). Dalam semua definisi imperialisme,
ada beberapa konsep yang selalu muncul: perluasan wilayah, penguasaan atau
dominasi dengan paksaan (koersi), dan dominasi politik, budaya, serta
ekonomi.
V.I. Lenin
menyatakan bahwa bahwa kapitalisme mencakup kapitalisme monopoli sebagai
imperialisme untuk menemukan bisnis dan sumber daya baru (Lenin, 1916 dalam http://www.marxist.org). Definisi
Lenin, “the highest stage of capitalism” mengacu pada saat ketika
monopoli kapital finansial mendominasi, memaksa negara dan korporasi swasta
bersaing untuk mengontrol sumber daya alam dan pasar.
Karl Marx juga
mengidentifikasi kolonialisme sebagai salah satu aspek prahistori moda produksi
kapitalis. Selain itu, teori imperialisme Marxist, dan teori dependensi yang
terkait, menekankan pada hubungan ekonomi antarnegara (dan di dalam
negara-negara), alih-alih hubungan formal politik dan militer. Dengan begitu,
imperialisme tidak selalu berupa satu hubungan kontrol yang formal satu negara
atas negara lain, melainkan eksploitasi ekonomi satu negara atas negara lain.
Dalam
periodisasi yang lazim, imperialisme dibagi menjadi dua periode. Yang pertama
adalah imperialisme kuno atau (ancient imperialism), yang intinya adalah
prinsip gold, gospel, dan glory. Imperialisme ini
berlangsung sebelum revolusi industri dan dipelopori oleh Spanyol dan Portugis.
Periode kedua adalah imperialisme modern, yang intinya adalah kemajuan ekonomi.
Imperialisme modern muncul sesudah revolusi industri. Industri besar-besaran
membutuhkan banyak bahan mentah dan pasar yang luas. Para imperialis mencari
jajahan untuk dijadikan sumber bahan mentah dan pasar bagi hasil-hasil industri
kemudian juga sebagai tempat penanaman modal bagi surplus kapitalis (http://id.wikipedia.org/wiki/Imperialisme).
Unsur
selanjutnya adalah kolonialisme. Kolonialisme merupakan pengembangan kekuasaan
sebuah negara atas wilayah dan manusia di luar batas negaranya, seringkali
untuk mencari dominasi ekonomi dari sumber daya, tenaga kerja, dan pasar
wilayah tersebut (http://id.wikipedia.org/wiki/Kolonialisme). Definisi
kolonialisme menyatakan bahwa kolonialisme merupakan satu praktik dominasi yang
melibatkan subjugasi satu orang terhadap yang lain.
Seperti imperialisme, kolonialisme juga melibatkan
kontrol politik dan ekonomi terhadap satu teritori yang dependen. Kolonialisme
sangat sulit dibedakan dari imperialisme. Satu-satunya perbedaan hanya dapat dilihat dari etimologi
kedua konsep tersebut. Istilah koloni berasal dari kata Latin colonus, yang berarti ‘petani’. Ini
mengingatkan kita pada praktik kolonialisme yang biasanya melibatkan proses
pemindahan populasi ke satu wilayah, di mana mereka akan tinggal di tempat
tersebut secara permanen dan tetap mempertahankan afiliasi politik dengan
negara asalnya. Di sisi lain, imperialisme berasal dari kata Latin imperium, yang berarti ‘memerintah’.
Dengan demikian, imperialisme lebih merupakan cara bagaimana satu negara
menjalankan kekuasaan atas negara lain, apakah melalui pembentukan koloni,
kemakmuran, atau mekanisme kontrol tak langsung (http://plato.stanford.edi/entries/colonialism).
Sementara itu, kapitalisme secara umum mengacu pada satu sistem ekonomi yang di dalamnya semua atau sebagian besar alat-alat produksi dimiliki secara privat dan dioperasikan demi keuntungan (http://en.wikipedia.org/wiki/Capitalism). Selain itu, dalam sistem ini, investasi, distribusi, pendapatan, produksi, dan penentuan harga barang-barang dan jasa ditentukan melalui operasi ekonomi pasar. Kapitalisme biasanya melibatkan hak-hak individu dan sekelompok individu yang berperan sebagai “orang-orang legal” atau korporasi-korporasi yang memperdagangkan barang-barang kapital, buruh, dan uang.
Ada beberapa
pengertian lain soal kapitalisme. Yang pertama adalah bahwa kapitalisme
merupakan sebuah sistem yang mulai terinstitusi di Eropa pada masa abad ke-16
hingga abad ke-19–yaitu di masa perkembangan perbankan komersial Eropa, di mana
sekelompok individu maupun kelompok dapat bertindak sebagai suatu badan
tertentu yang dapat memiliki maupun melakukan perdagangan benda milik pribadi,
terutama barang modal seperti tanah dan tenaga manusia, pada sebuah pasar bebas
di mana harga ditentukan oleh permintaan dan penawaran, demi menghasilkan
keuntungan di mana statusnya dilindungi oleh negara melalui hak pemilikan serta
tunduk kepada hukum negara atau kepada pihak yang sudah terikat kontrak yang
telah disusun secara jelas kewajibannya baik eksplisit maupun implisit serta
tidak semata-mata tergantung pada kewajiban dan perlindungan yang diberikan
oleh kepenguasaan feodal.
Yang kedua,
kapitalisme adalah teori yang saling bersaing yang berkembang pada abad ke-19
dalam konteks Revolusi Industri, dan abad ke-20 dalam konteks Perang Dingin,
yang berkeinginan untuk membenarkan kepemilikan modal, untuk menjelaskan
pengoperasian pasar semacam itu, dan untuk membimbing penggunaan atau
penghapusan peraturan pemerintah mengenai hak milik dan pasaran. Ketiga,
kapitalisme dianggap sebagai suatu keyakinan mengenai keuntungan dari
menjalankan hal-hal semacam itu. Keempat, kapitalisme adalah suatu sistem
ekonomi yang mengatur proses produksi dan pendistribusian barang dan jasa
dengan ciri-ciri: sebagian besar sarana produksi dan distribusi dimiliki oleh
individu; barang dan jasa diperdagangkan di pasar bebas (free market)
yang bersifat kompetitif; dan modal kapital (baik uang maupun kekayaan lain)
diinvestasikan ke dalam berbagai usaha untuk menghasilkan laba (profit).
Nicholas Garnham dalam Capitalism
and Communication: Global Culture and the Economics of Information
mendefinisikan kapitalisme sebagai “a mode of social organization
characterized by the domination of exchange relation”. Lebih jauh
lagi, Garnham menegaskan bahwa hubungan partikular antara yang abstrak dan yang
konkret, atau antara gagasan-gagasan dan hal-hal, yang relevan bagi
materialisme historis sebagai satu moda analisis kapitalisme, berakar pada
hubungan nyata antara yang abstrak (relasi pertukaran) dan yang konkret
(pengalaman hidup individu, tenaga kerja, dsb.) (Garnham, 1990:22).
Ada beberapa
elemen kunci yang kerap disebut dalam pendefinisian kapitalisme: sistem, modal (kapital),
kepemilikan individu, proses produksi, kompetisi, pasar bebas, investasi, dan
profit. Kata-kata
kunci ini menjadi faktor determinan dalam implikasi-implikasi praktis operasi
kapitalisme dan itu akan terlihat dalam sejarah panjang perkembangan
kapitalisme.
Pada umumnya
para sejarawan ekonomi sepakat bahwa kapitalisme sebagai moda pengorganisasian
kehidupan sosial dan ekonomi tidak hanya dimulai di satu tempat di dunia, dalam
hal ini Eropa Barat Laut, melainkan sejak tahap sangat awal, ketika masih dalam
proses pembentukan pada abad ke-16, yang melibatkan ekspansi ke luar yang
secara bertahap melintasi wilayah-wilayah yang kian luas di dunia dalam satu
jaringan pertukaran materi. Jaringan pertukaran materi ini seiring waktu
berkembang menjadi pasar dunia bagi barang-barang dan jasa, atau bagi pembagian
kerja internasional (division of labour). Pada akhir abad ke-19, proyek
satu ekonomi dunia yang kapitalistik telah terbangun dalam arti bahwa lingkup
hubungan-hubungan mencakup semua wilayah geografis dunia (Hoogvelt, 1997: 14).
Abad ke-19 secara khusus mencuat sebagai waktu utama perkembangan pembagian kerja internasional. Diperkirakan bahwa dalam tiap dekade pada abad ke-19, perdagangan dunia tumbuh 11 kali lebih cepat dari produksi dunia, dan pada 1913, saat Perang Dunia I, 33 persen produksi dunia diperdagangkan di luar batas nasional negara-negara (Horvat, 1968:611 dalam Hoogvelt, 1997: 14).
Ini sejalan
dengan yang diungkapkan George Ritzer dalam Modern Sociological Theory (1996).
Ritzer menyatakan bahwa Revolusi Industri yang terjadi hampir di seluruh
masyarakat Barat, terutama pada abad ke-19 dan awal abad ke-20–bersama berbagai
perkembangan yang terkulminasi menjadi transformasi dunia Barat dari masyarakat
agriluktur menjadi satu sistem masyarakat Industri–memunculkan satu sistem
masyarakat di mana muncul birokrasi ekonomi yang besar untuk melayani banyak
kebutuhan industri dan sistem ekonomi kapitalis yang baru muncul. Sasaran ideal
dari sistem kapitalisme ini adalah pasar bebas, di mana berbagai produk
industri dapat ditransaksikan (Ritzer, 1996: 6-7). Bagian dari dunia yang kini
disebut sebagai Dunia Ketiga, yakni Amerika Selatan, Afrika, Asia–terkecuali
Jepang–, berpartisipasi secara penuh dalam pasar internasional. Pada 1913, Dunia
Ketiga menangkap 50 persen pasar dunia (bandingkan dengan 22 persen saat ini)
(Mun, 1928:5 dalam Hoogvelt, 1997:14).
Praktik ekonomi
kapitalistik terinstitusional di Eropa antara abad ke-16 dan ke-19 dan bentuk
awal kapitalisme perdagangan (merchant capitalism) berkembang
pada Abad Pertengahan. Menurunnya feodalisme pada saat itu mengikis kekangan
politis dan religius tradisional dalam pertukaran-pertukaran kapitalis. Hal-hal
yang menyulitkan terjadinya akumulasi kapital–seperti tradisi dan kontrol, aturan-aturan
aristokrasi, yang mengambil alih kapital melalui denda secara sewenang-wenang,
dan pajak, pada abad ke-18–berhasil diatasi dan kapitalisme menjadi sistem
ekonomi yang dominan di United Kingdom dan pada abad ke-19 kapitalisme menjadi
sistem ekonomi dominan di Eropa. Setelah menguasai Eropa, kapitalisme secara
bertahap menyebar dari Eropa, khususnya dari Britania, melintasi batas-batas
politik dan budaya. Pada abad ke-19 dan 20, kapitalisme menyediakan
perangkat-perangkat utama industrialisasi ke sebagian besar penjuru dunia (http://en.wikipedia.org/wiki/Capitalism).
Periode awal
kapitalisme atau merchant capitalism atau merkantilisme ini juga disebut
sebagai kapitalisme perdagangan. Periode ini dikaitkan dengan penemuan-penemuan
oleh pedagang-pedagang lintasnegara–terutama dari Inggris dan Negara-Negara
Dataran Rendah–, kolonisasi Eropa terhadap Amerika, dan pertumbuhan pesat
perdagangan lintasnegara. Merkantilisme adalah sistem perdagangan demi profit,
meskipun sebagian besar komoditas masih diproduksi oleh metode produksi
nonkapitalis. Di bawah merkantilisme, para pedagang Eropa, dengan dukungan
kontrol, subsidi, dan monopoli negara, mendapatkan keuntungan dari pembelian
dan penjualan barang-barang. Francis
Bacon menyatakan bahwa tujuan merkantilisme adalah “the opening and
well-balancing of trade; the cherishing of manufacturers; the banishing of
idleness; the repressing of waste and excess by sumptuary laws; the improvement
and husbanding of the soil; the regulation of prices…” (Bacon dalam The
Seventeenth Century, 1961, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Capitalism).
Para perintis
merkantilisme menekankan pentingnya kekuatan negara dan penaklukan luar negeri
sebagai kebijakan utama dari kebijakan ekonomi. Jika sebuah negara tidak
mempunya bahan mentahnya, maka mereka mesti mendapatkan koloni yang akan
menjadi sumber bahan mentah yang dibutuhkan. Koloni juga akan berperan sebagai
pasar barang jadi. Agar tidak terjadi kompetisi, koloni harus dicegah untuk
melaksanakan produksi dan dengan pihak lain. Dalam situasi ini, terwujudlah
pembagian kerja (division of labor) internasional.
Seperti
dikatakan oleh Immanuel Wellerstein, kita menyebut pembagian kerja
internasional ini sebagai ekonomi dunia kapitalis karena kriteria definitifnya
adalah produksi barang dan jasa untuk dijual di pasar yang tujuannya adalah
untuk memaksimalkan profit (dalam Wellerstein, 1979 dalam Hoogvelt, 1997: 14).
Dalam pasar kapitalistik, kekuatan permintaan dan penawaran yang tampaknya
netrallah yang menentukan harga satu produk dan dengan demikian memberi sinyal
kepada produsen apakah mereka mesti melakukan ekspansi produk, mengurangi
output, atau mengubah teknik produksi, mengurangi struktur biaya, dan
sebagainya. Dengan kata lain, melalui medium tangan tak terlihat (invisible
hands) Adam Smith dalam The Wealth of Nations (1776)–yang telah
menjadi menjadi “global invisible hand” pada akhir abad ke-19–aktivitas
manusia dikoordinasikan secara rapi melintasi batas-batas nasional (Hoogvelt,
1997: 15).
Dari
uraian-uraian di atas, terlihat bahwa ada beberapa hal yang selalu muncul
dalam pembahasan kritis soal kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme.
Beberapa karakter tersebut adalah penguasaan (baik secara koersif atau
nonkoersif), eksploitasi (baik terhadap sumber daya alam dan manusia atau pada
pemikiran), keuntungan atau profit (bagi negara-negara pelaku, yang selalu
berasal dari Eropa Barat dan Amerika Utara), ekonomi (yang menjadi latar
belakang pendorong), dan hubungan yang sarat dengan ketidaksetaraan (satu atau
sekelompok diuntungkan dan yang lain dirugikan). Ketiga konsep tersebut dalam
analisis yang fokus pada pendekatan histori maupun analisis, kerap berkaitan
satu sama lain. Itu bisa terlihat dari teori periodisasi di bawah ini.
Sejumlah
ilmuwan yang fokus pada sistem dunia memunculkan proposisi soal periodisasi
perkembangan kapitalisme, yang di dalamnya karakteristik kapital inti dan
hubungannya dengan wilayah periferal sangat beragam. Perbedaan-perbedaan itu
dilihat sebagai satu hasil dialektis dari kontradiksi-kontradiksi yang
ditimbulkan dalam tiap periode interaksi. Para ilmuwan Neo-Marxist, seperti
Samir Amin, Andre Gunder Frank, Ernest Mandel, Albert Szymanski, dan Harry
Magdoff, secara umum mengidentifikasi tahap prakompetitif merkantilis
(1500-1800), tahap kapitalis kompetitif (1800-1880), tahap
monopoli/imperialis (1880-1960), dan beberapa ilmuwan bahkan
mengidentifikasi satu tahap monopoli imperialis/kapitalis lanjutan (yang
dimulai oleh krisis pada 1968).
Dalam tiap
periode, periferi menjalankan fungsi tertentu dalam melayani
kebutuhan-kebutuhan esensial akumulasi di sentral. Namun, kebutuhan-kebutuhan
esensial ini berubah akibat hasil gemilang pelayanan tersebut. Dan karena
interaksi dialektis antara core dan periferi memunculkan tingkat
perbedaan perkembangan yang kian meningkat di core dan periferi dalam
tiap periode, core dan periferi terpisah kian jauh, menuju satu titik
krisis dalam hubungan tersebut, yang kemudian diatasi dengan mengubah struktur
formalnya dan metode akstraksi surplus dari core ke periferi (Hoogvelt,
1997: 16).
Sementara itu,
Ankie Hoogvelt juga memunculkan periodisasi ekspansi kapitalisme yang berbeda.
Periodisasi yang disebutnya sebagai periodisasi yang dikatakan merupakan
periodisasi yang “mengabaikan variasi geografis yang luas”, Hoogvelt membagi
ekspansi kapitalisme menjadi empat periode. Yang pertama adalah fase
merkantilisme, transfer surplus ekonomi melalui penjarahan dan perampasan
yang disamarkan menjadi perdagangan (1500-1800). Kedua, periode kolonial,
transfer surplus ekonomi melalui syarat-syarat pedagangan yang tak setara yang
dilakukan melalui pembagian kerja internasional yang dilakukan melalui
kolonialisme (1800-1950). Yang
ketiga adalah periode neo-kolonial, transfer surplus ekonomi melalui developmentalism
dan technological rents (1950-70). Yang terakhir adalah pascaimperialisme,
transfer surplus ekonomi dilakukan melalui peonage (upaya membuat
pengutang melakukan segala sesuatu bagi terutang) utang (1970-saat ini).
Tahap pascaimperialisme, pada akhir
abad ke-20, ditandai dengan pertumbuhan eksplosif perusahaan-perusahaan
transnasional, yang memicu munculnya postimperialism theory. Para teoris
modern business enterprise, seperti Charles A. Conant, Arthur T. Hadley,
Jeremiah W. Jenks, Adolf A. Berle, Jr., Peter F. Drucker, dan Alfred D.
Chandler, Jr. menyatakan bahwa dalam sejarah ekonomi Barat, selama akhir abad
ke-19 dan setelahnya, korporasi-korporasi menjelma menjadi organisasi ekonomi
yang paling efisien dalam lingkup transportasi, komunikasi, produksi,
distribusi, dan pertukaran yang semakin luas (Becker, Sklar & Hakim, 1999:
11).
Sementara itu, masih dalam kaitannya
dengan periodisasi kapitalisme, Thomas L. McPhail dalam Global
Communication: Theories, Stakeholders, and Trends (2002) melihat
periodisasi kapitalisme itu sebagai bagian dari analisis makro sistem
komunikasi massa, yang antara lain dilakukan oleh Harold Innis, Marshal
McLuhan, Armand Mattelart, Jacques Ellul, dan George Barnett. Pemaparan
periodisasi yang dilakukan McPhail disebut sebagai pembabakan sejarah atau
perkembangan historis tren “pengembangan imperium”, yang pada dasarnya
menggambarkan perkembangan dominasi, yang amat mirip dalam perkembangan sejarah
kapitalisme, kolonialisme, dan imperialisme, terutama dari perspektif
modernisasi (Daniel Larner, Marion Lavy, Neil Smelser, Samuel Eisenstadt, dan
Gabriel Almond), dependensi (Paul Baran, Martin Landsberg, dan banyak peneliti
lain), dan teori sistem dunia (Immanuel Wellerstein).
McPhail
menyatakan bahwa tren pertama dalam pengembangan imperium adalah melalui
penaklukan militer, yang ia sebut sebagai kolonialisme militer. Yang
kedua adalah penaklukan oleh tentara salib Kristen, yang ia sebut sebagai kolonialisme
Kristen. Yang berikutnya adalah kolonialisme merkantilisme, yang ia
sebut bertahan hingga pertengahan abad ke-20. Satu elemen kunci yang sangat
penting dalam kolonialisme merkantilisme, menurut McPhail, adalah penemuan
mesin cetak oleh Johannes Gutenberg (ini juga disebutkan oleh Nick Stevenson,
1999:34-35 dan McChesney, Wood, dan Foster, 1998, 51-55) karena hal itu
memungkinkan terjadinya penyebaran pesan secara cepat dan lebih luas.
Berakhirnya PD I dan PD II menandai berakhirnya era kolonialisme militeristik
dan menempatkan negara-negara industri sebagai pemimpin jalur vital perdagangan
dan praktik komersial global. Ini semua membawa dunia pada periode keempat
perkembangan imperium, yakni kolonialisme elektronik. Periode ini diwarnai
oleh ketergantungan less developed countries (LDC’s) pada Barat, yang
terjadi karena ada ketergantungan perangkat keras komunikasi yang vital dan
perangkat lunak yang cuma diproduksi di barat. Selain itu, LDC’s juga amat
bergantung pada Barat dalam hal kebutuhan para insinyur, teknisi, yang
protokol-protokol yang berkaitan dengan informasi, yang semuanya membentuk
sekumpulan norma-norma, niai, nilai, dan ekspektasi asing, yang dalam berbagai
tingkat berbeda mengubah budaya, kebiasaan, nilai-nilai dan proses sosialisasi
domestik. Semua pemaran ini disebut sebagai electronic colonialism theory
(ECT)[1].
Fredric Jameson
dan David Harvey, dua ilmuwan Marxis, mengatakan bahwa modernitas dan
pascamodernitas merepresentasikan dua fase kapitalisme yang berbeda. Jameson
menyatakan bahwa pascamodernitas berhubungan dengan late capitalism atau
satu fase kapitalisme multinasional, “informational”, dan “consumerist”.
Sementara itu, Harvey mendeskripsikannya sebagai transisi dari Fordism ke
akumulasi fleksibel. Gagasan yang sama juga muncul dalam teori-teori “disorganized
capitalism”. Pascamodernitas dengan demikian berhubungan dengan satu fase
kapitalisme di mana produksi massa barang-barang standar dan bentuk-bentuk
pekerjaan yang berkaitan dengan hal itu, telah digantikan oleh fleksibilitas:
bentuk baru produksi.
Ellen Meiksin Wood dalam “Modernity,
Postmodernity, or Capitalism?” dalam Capitalism and the Information Age: The
Political Economy of the Global Communication Revolution (McChesney, Wood,
dan Foster, 1998), menyatakan bahwa periodisasi melibatkan lebih dari sekadar
menelusuri proses perubahan. Memproposisikan satu pergeseran sama artinya dengan
menentukan mana yang esensial dalam mendefinisikan satu bentuk sosial seperti
kapitalisme. Pergeseran epokal berkaitan dengan transformasi-transformasi dasar
dalam beberapa elemen konstitutif dasar satu sistem. Dengan kata lain,
periodisasi kapitalisme bergantung pada bagaimana kita mendifinisikan sistem
ini sejak awal. Dalam hal ini kita harus memahami bagaimana konsep-konsep
modernitas dan pascamodernitas menjelaskan bagaimana orang menggunakan
konsep-konsep itu untuk memahami kapitalisme. Dalam kesimpulannya, Wood
menyatakan bahwa modernitas telah mati, digantikan oleh kapitalisme.
Apa pun fokus
dan penggunaan istilahnya, baik imperialisme, kolonialisme, maupun kapitalisme,
ada beberapa kesamaan dan warna serta jenis penaklukan dalam periodisasi-periodisasi
yang digambarkan di atas. Secara umum, semua periodisasi dimulai dengan
penaklukan militer yang dilanjutkan dengan perdagangan sekaligus ekspansi
geografis. Pada akhirnya, periodisasi ditutup dengan hilangnya–atau
minimnya–peran kekuatan koersif militer dalam penaklukan dan dominasi.
Era terakhir
dalam tiap periodisasi selalu diwarnai oleh semakin dominannya unsur-unsur
komunikasi dan media komunikasi dalam moda penaklukan, penguasaan, dan dominasi
yang lebih halus, yang melibatkan nilai-nilai, norma-norma, dan hal-hal yang
jauh dari kesan koersif. Bahkan McPhail menyatakan bahwa periode terakhir,
kolonialisme elektronik sebagai satu periode di mana para kolonialis “seeks
mind”, sedangkan kolonialisme masih “sought cheap labor”. Secara
implisit, McPhail menyatakan ada pergeseran fokus dominasi: dari sesuatu yang
bersifat kasar, jelas terlihat, dan fisik menjadi sesuatu yang halus, laten,
dan psikis serta mental. Dominasi pada era ini amat sejalan dengan konsep
hegemoni Antonio Gramsci[2].
[1] Electronic colonialism merupakan
babak selanjutnya dalam pembabakan kolonialisme. Lihat Grafis 1.
http://alsujanto.blog.friendster.com/2008/01/kapitalisme-sering-terdengar-tak-banyak-yang-paham/,
23 maret 2009
HAI TEMAN-TEMAN, MET JUMPA LAGI.... Muah,
muah, salam rindu bin kangen 4 all of uuuuu... Salam kangen juga dari teras
kanfak, yg katanya merindukan kehadiran dan keributan kalian semua. Met
bergabung. Thx Dwin... utk groupnya. CU everybody.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar